Seorang teman berdiri tegak dihadapan saya.
“Aku cantik kan, Gik? Aku gak gendut kan?” Saya hanya terdiam memandangnya. Bagi saya dia adalah sosok yang menawan. Wajah manis dengan tubuh berisi tapi bukan gendut. Bagi saya tidak ada manusia gendut, hanya lebih berisi saja dari ukuran proposional.
“Aku cantik kan, Gik? Aku gak gendut kan?” Saya hanya terdiam memandangnya. Bagi saya dia adalah sosok yang menawan. Wajah manis dengan tubuh berisi tapi bukan gendut. Bagi saya tidak ada manusia gendut, hanya lebih berisi saja dari ukuran proposional.
Saya enggan untuk menggunakan label negatif pada seseorang. Dia adalah wanita matang yang selalu ceria dan energik. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Kulitnya sawo matang dipadu dengan wajah bulat yang njawani, yang membuat dia semakin eksotik.
“Kamu itu nggak cantik. Tapi mempesona.” Saya menariknya ke cermin besar. Menariknya dan memperlihatkan kecantikannya. Dia tetap saja menyangkal. Yang pipi tembem lah. Hidung besar lah dan banyak lagi. Saya tidak menyalahkan sahabat saya ini. Dia baru saja ditolak mantan calon suaminya. Dengan alasan dia gendut dan tidak putih.
Meski saya tahu bagaimana remuk redam hatinya. Tapi saya sangat bahagia mereka tidak jadi menikah. Sahabat saya tak layak mendapatkan pria seperti itu. Seorang pria yang hanya menilai seseorang hanya dari kulit luarnya saja. Meski saya harus bersusah payah membangkitkan kepercayaan dirinya yang jatuh puluhan derajat di bawah nol.
Sejak penolakan itu, dia berjuang keras selama 1 tahun untuk membangun kepercayaan dirinya. Hingga dia bisa berdiri tegak dengan kepercayaan diri penuh seperti sedia kala.
Saya tidak menyangka hanya karena 2 kata itu. Saya melihatnya terperosok dalam jurang rendah diri yang dalam dan tak berujung. Saya saksi hidup yang melihatnya berjuang. Sedikit demi sedikit dia mulai membangun kepercayaan diri.
Meski beberapa kali saya melihatnya jatuh tersuruk. Dia menatap saya dan berbicara dengan keras. Dia diet dan olah raga mati-matian serta melakukan berbagai perawatan wajah. Namun tetap saja dia merasa masih tetap gemuk dan tidak cantik.
Saya merasa ngeri dengan apa yang dia lakukan. Dia menjadi sosok yang sangat tidak menawan. Saya seperti melihat boneka hidup. Seonggok tubuh dengan daging tanpa ada aliran kehidupan didalamnya. Tidak ada cahaya sama sekali dalam dirinya. Dia terobsesi dengan tubuhnya.
Saya merindukan sosoknya yang dulu. Yang selalu ceria dan mempesona. Yang selalu bersinar dengan senyuman yang tak pernah hilang. Dia terlalu sibuk dengan jadwal senam, pil-pil pelangsing, juga urusan salon dan make up.
Saya selalu tak berhenti memanjatkan doa, agar dia kembali seperti dulu. Untunglah, doa saya terjawab. Kami sedang ‘kencan’ di kedai ice cream. 2 porsi ice cream kesukaan kami ada di depan mata. Saya agak kaget waktu dia mengajak makan ice cream. Apa kabar diet? Dia hanya tersenyum.
“Meskipun aku kurus dan cantik. Gak jaminan dia bakal kembali ke aku. Oke lah. Meski aku kurus dan cantik. Kalau misalnya nih… nauzubillah min dzalik. Aku kecelakaan. Trus cacat, gak bisa jalan. Apa dia akan tetap bersamaku? Aku ragu. Aku dalam kondisi sehat dan tanpa cacat saja dia masih belum menerima aku sepenuhnya. Cantik atau gemuk itu kan hanya urusan selera. Perspektif saja. belum tentu orang lain akan berpendapat sama.” Ucapnya sambil menyendok besar Ice Cream.
Saya ingin berteriak dan memeluknya erat-erat. She’s back. Huaa andai saja ini bukan di tempat umum. Yang bisa saya lakukan hanya menggenggam tangannya dan mempersembahkan senyuman paling manis yang saya punya.
Beberapa bulan berselang. Allah menunjukkan kasih sayangnya pada umat yang selalu penuh cinta itu. Dia yang gemuk, tidak putih dan tidak cantik. Dia yang setelah diet mati-matian tapi tetap saja gemuk. Telah dipinang oleh seorang pria yang nyaris sempurna luar dalam.
Ternyata Allah sengaja menyingkirkan lelaki itu agar sahabat saya tercinta ini bisa dipersandingkan dengan yang lain. Sangat jauh berbeda dari lelaki yang sudah menolak sahabat saya itu. Saya paham bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Tapi biarkan saja hanya sedikit ketidak sempurnaan yang dimiliki suaminya.
Saya terperajat ketika mengetahui bahwa sang suami telah lama menaruh hati pada sahabat saya. Tapi ada beberapa hal yang membuat beliau menunda untuk melamar. Dengan sabar dan perasaan cemas beliau menunggu saat yang tepat untuk mengajukan lamaran. Allah Maha Berkehendak. Yang buruk digantikan dengan yang lebih baik. Sesuatu yang seakan indah dihapuskan lalu diganti dengan yang jauh lebih indah.
“Tahu, nggak? Suamiku nggak suka kalau aku kurus hihihi.” Saya hanya bisa tertawa. Hati saya riang bukan kepalang. Sahabatku, sudah selayaknya engkau mendapatkan anugerah indah ini. Kesabaranmu berbalas tunai saat ini. Seperti mimpi rasanya. Seperti cerita sebuah novel romantis. Tapi ini adalah benar adanya. Sebuah keajaiban yang datang setelah banjir air mata yang tiada henti.
Tak peduli apakau kau gendut, kurus, berkulit hitam, rambut keriting ataupun merasa tidak cantik. Yakinlah bahwa diluar sana. Ada seseorang yang selalu merindukanmu dan tak sabar untuk segera menjemputmu. Dia yang selalu melihatmu dari jauh dan menunggu dengan sabar hingga saatnya tiba.
Dia yang selalu menyematkan namamu dalam setiap doa-doanya. Dia yang selalu menempatkan dirimu sebagai prioritas. Dia yang menempatkan kebahagianmu sebagai impiannya. Dia yang sudah disiapkan oleh Allah, untuk menemanimu. Seumur hidupmu.
Dia yang akan melengkapi segala tawa dan tangismu. Dia yang selalu menunggu senyuman di wajahmu. Maka kau harus tahu. setiap wanita adalah cantik. Bagi dia, engkau wanita yang paling cantik. Meski bagi yang lain tidaklah demikian.
Foto: koleksi pribadi.
Lokasi: Pantai Kuta Bali
Hi salam kenal...
BalasHapusTulisan yang cantik. Bertubuh besar (gemuk) juga masih boleh menarik dan cantik bgmn kita memandang diri kita saja dan cara berfikir kita. :)
Setuju.
HapusSalam kenal.
BalasHapusYa sepakat. Cantik hanya masalah persepsi diri dan paradigma masyarakat
Iya. Tergantung kita juga. Bisa nggak diri kita menghargai kecantikannya sendiri.
Hapus