Judul : Satin Merah
Penulis : Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penerbit : Gagas Media 2010
Buku yang bikin panas dingin. Hari pertama saya baca buku ini menjelang tidur. Mimpi buruk didatangi Nadya yang membawa asbak helm. Selanjutnya, saya hanya berani baca siang hari.
Unsur Psikologis
Buku ini saya sebut buku pintar. Berisi tentang pembunuhan, sastra Sunda, pelajaran menulis dan psikologis, yang diramu menjadi satu kesatuan. Unsur psikologis banyak mendominasi dalam berbagai sisi.
Saya salut pada penulis yang menampilkan sisi psikologis Nadya dengan detail. Jujur saya ngeri membayangkan sosok Nadya. Seorang anak yang haus pengakuan dari orang tua dan orang-orang disekitarnya, bisa menjadi pembunuh berdarah dingin. Suatu hal yang wajar adanya. Mungkin juga terjadi di dunia nyata.
Buku ini bisa menjadi 'cermin' untuk orang tua dan juga anak yang mempunyai pengalaman sama dengan Nadya. Semoga tidak ada Nadya-Nadya baru dikehidupan nyata.
Permainan Emosi
Pada bagian awal, saya sudah disuguhi penemuan dua mayat di sebuah rumah. Untunglah, setting berpindah di sebuah sekolah SMA, lengkap dengan pernak pernik dunia remaja. Selesai sudah spot jantung di awal buku ini.
Namun sayang, tidak lama saya malah digiring ke cerita yang lebih mencekam. Pembunuhan yang dilakukan seorang remaja belia. Yang membuat saya geleng-geleng, anak itu tidak hanya membunuh satu orang.
Perasaan ngeri, gemas, penasaran dan kasihan bergulat jadi satu. Perasaan penasaran menang dalam pergulatan kali ini. Saya pun meminta ketiga perasaan lain untuk minggir. Penasaran saya kemudian memunculkan kekaguman. Kedua penulis konsisten membangun alur cerita dengan kecepatan yang konstan dari awal hingga akhir.
Pada awalnya saya benci dengan tokoh Nadya. Namun, perasaan itu langsung sirna di akhir cerita. Email Nadya yang dibuat khusus untuk Alfi tak urung membuat saya menahan haru. Nadya ternyata menyayangi adiknya dan tetap ingin menjaganya meski sudah meninggal dunia.
Pertanyaan
Bangunan cerita tertata dengan rapi perlahan-lahan dengan pasti. Trik putus nyambung bisa saya ikuti dengan nyaman. Meski ada pertanyaan dibenak saya. Bagaimana tokoh Didi dan Nining meninggal? Penulis hanya menjelaskan secara tersamar. Menurut saya, justru pada dua peristiwa itu penulis bisa mengumbar trik pembunuhan yang menawan.
Meski begitu, buku ini adalah buku favorit saya setelah metropolis. Semoga semakin banyak penulis-penulis Indonesia yang bergerak di genre ini.
Foto: pinjam pakai dari Google
Foto: pinjam pakai dari Google
Komentar
Posting Komentar