Judul : Dongeng Semusim
Penulis : Sefryana Khairil
Editor : Rayina, Christian Simamora & Gita Romadhona
Penerbit : GagasMedia
Cetakan : pertama, 2009
Tak selamanya pernikahan bertaburkan bunga-bunga indah dan manisnya madu. Pertemuan dua insan yang berbeda dalam segala hal -pun sebelumnya sudah pacaran bertahun-tahun- tetap saja akan menimbulkan percikan, yang mungkin berpotensi untuk menjadi nyala api besar. Suatu proses alami yang biasa sebenarnya.
Penyatuan dua jiwa dalam sebuah proses yang berlangsung dalam sebuah ikatan pernikahan. Hanya saja, jika salah satu atau kedua suami istri tidak siap menjalankan proses ini. Maka keguncangan jiwa yang terjadi. Meski pada awal pernikahan suami istri mempunya visi dan konsep yang sama, kadang kala bisa berubah seiring perjalanan waktu.
Hal ini lah yang dituliskan dengan cantik oleh penulis dalam buku ini. Kita dibawa masuk ke ruang pernikahan Sarah dan Nabil. Dua sejoli yang saling jatuh cinta lalu memutuskan untuk menikah.
Cukup banyak konflik yang mewarnai perjalanan mereka ketika memutuskan untuk menikah. Mereka akhirnya bisa menikah meski tanda didampingi Papanya Sarah. Awal pernikahan berjalan dengan mulus hingga lima bulan setelahnya, ketika Sarah dinyatakan positif hamil. Nabil shock. Dalam konsep Nabil, pernikahan adalah dia dan Sarah saja. Anak dianggap sebagai pengganggu dalam hubungan mereka berdua dan juga konsentrasi Nabil sebagai pekerja kreatif. Sayang, hal ini tidak pernah dikatakan dengan jujur pada Sarah. Sedangkan Sarah menginginkan sekali segera punya anak setelah menikah.
Konflik berkepanjangan pun dimulai. Penulis memberikan efek kejut pada bagian ini. Setelah menikmati cerita manis cinta mereka berdua, lalu diajak berurai air mata menemani perjalanan Sarah seorang diri. Pada 3 bulan awal kehamilan, Sarah harus berjuang dengan ektra keras. Bertarung melawan morning sick dan juga sikap dingin Nabil yang semakin hari semakin menjadi. Sarah selalu menguatkan diri ditengah badai rumah tangga dan proses pencarian jati diri sebagai seorang muslim. Penulis mendeskripsikan bagian ini dengan menawan. Sarah ditampilkan sebagai sosok yang manusiawi, seorang wanita yang dibalut dengan ketegaran sekaligus berselaput lara dan air mata.
Untunglah penulis menutup kisah ini dengan manis. Sarah dan Nabil akhirnya bersatu kembali ketika Sarah mengalami keguguran. Meski pada mulanya, Nabil harus berjuang keras agar Sarah bisa menerima dirinya kembali. Istri istimewa yang sejak awal sebenarnya sangat mencintai Nabil, memutuskan untuk memberi suaminya kesempatan ke dua.
Dalam buku ini, penulis mampu bertutur dengan lancar dan kecepatan yang konstan. Apalagi banyak bertaburan menu-menu makanan yang bikin saya menyesap liur. Sarah sebagai redaktur di majalah boga, gemar membuat resep baru dan mencicipi makanan. Selain itu Sarah juga gemar memasak. Proses pembuatan masakan dan rasa masakan diceritakan dengan detail. Sungguh mengasyikkan membaca buku ini, meski perut saya jadi kriuk-kriuk riuh.
Cover buku ini menarik. Pilihan warna yang tak biasa, juga design cover menjadikan buku ini unik. Hanya sayang, pilihan warna cover dan tulisan judul tidak ‘menonjok’ mata. Hal ini saya rasakan ketika mencari buku ini diantara deretan buku yang disusun meninggi di lantai. Dimana mata langsung memandang ke bawah dengan posisi horizontal strategis. Dibandingkan cover disekitarnya dengan warna dan ilustrasi semarak. Buku ini ‘tenggelam’.
Ketika membaca buku ini, ada pertanyaan yang masih bergelayut dalam benak saya. Ada sebuah fakta kecil yang cukup menggelitik sensor baca saya. Sepulang Sarah dari rumah sakit setelah keguguran, beberapa kali dia sedang sholat dan membaca Al-Qur’an (hal 226 paragraf 1). Saya anggap janggal karena bila dilihat dari setting peristiwa. Seharusnya Sarah dalam kondisi nifas, yang tidak membolehkan seorang wanita untuk sholat dan membaca Al-Qur’an.
Meskipun begitu, buku ini mengungkapkan cerita pernikahan dari sisi yang tak biasa. Yang membuat saya merenung, bahwa siap tidak siap akan selalu ada konflik dalam pernikahan. Siap tidak siap akan ada banyak perubahan yang terjadi dalam proses berumah tangga. Siap tidak siap ada rangkaian kompromi dan toleransi. Siap tidak siap kita akan menghadapi berjuta peristiwa yang menuntut keikhlasan untuk memaafkan dan mencintai. Siap tidak siap, apapun yang terjadi selalu ada bahagia dan lara yang akan mengiringi sepanjang perjalanan pernikahan. Setiap pernikahan layak untuk diperjuangkan untuk dipertahankan bukan semata karena cinta tapi atas nama komitmen.
Foto: pinjam pakai dari Mbah Google
Komentar
Posting Komentar