Suatu hari saya bercerita tentang gempa
bumi pada anak-anak pengunjung Taman Baca. Anak-anak yang datang segera
berkumpul. Saya mulai bercerita dengan menggunakan media buku ensiklopedia
tentang gempa bumi. Seperti biasa, saya menggunakan metode komunikasi dua arah.
Anak-anak saya bebaskan untuk menyela atau bertanya ketika saya bercerita.
Pada saat pembahasan tentang gempa vulkanik dan tektonik, saya bercerita tentang penyebab semua benda bergoyang ketika gempa. Tiba-tiba seorang anak umur 6 tahun nyeletuk
“Eh, tadi malam loh
ada gempa.”
“Gak
ada. Aku nggak terasa, kok” anak-anak yang lain mulai ribut.
“Kereta
api lewat, kali.” saya menengahi. Maklum, mereka memang tinggal di perkampungan
yang berjarak sekitar 5 meter dari rel kereta api.
“Bukan,
mbak. Nggak ada bunyi kereta. Malam-malam. Aku sampe bangun.” si anak berbicara
serius. Saya tahu dari tatapan matanya, dia jujur. Saya bimbang. Jangan-jangan
benar ada gempa semalam dan kami semua tidak merasa.
“Trus...
serumah keluar semua?” saya bertanya penasaran
“Nggak.
Kan pas tidur tuh, kasurnya goyang-goyang. Aku bangun, kan. Aku panggil Mama.
Ma... gempa... ma. Lampunya mati. Aku kan takut. Trus kata Mama nggak apa-apa
cuma bentar. Aku disuruh tidur lagi. Ya uwis aku tidur lagi. Wong aku ngantuk banget.“ saya tersenyum simpul memahami
ceritanya.
“Ya
sudah. Cuma bentar to. Nggak bahaya
kalau gempanya cuma sebentar. Pantesan kita semua nggak terasa ya.” saya
tersenyum simpul. Lalu mengalihkan anak-anak dari cerita ‘gempa semalam’.
Mungkin pembaca sudah menebak apakah gerangan ‘gempa semalam’ itu?
Anak tersebut memang tinggal di rumah petak hanya ada satu kasur. Mama, Papa, dia dan dua kakaknya biasa tidur bersama-sama. Yah, begitulah kondisi yang ada. Dalam hati saya sangat bersyukur sewaktu anak bangun kondisi kamar gelap. Si anak tak perlu melihat pemandangan yang belum boleh dilihat anak seumurnya.
Semoga mereka segera bisa pindah ke rumah dengan kamar orang tua dan anak terpisah. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar