Saya mengenalnya
secara kebetulan. Ketika saya membutuh uang untuk menyelesaikan penelitian
skripsi. Sedang beliau membutuh pengganti asistennya yang cuti melahirkan.
Beliau adalah seorang wanita pengusaha yang mempunyai jabatan penting di
beberapa perusahaan dan organisasi sosial.
Selama kebersamaan dengan beliau
saya seperti membuka pintu dunia baru. Beliau tidak segan dalam membagi
berbagai ilmu baru. Beliau juga tidak pernah berlagak sebagai bos, tapi
memperlakukan saya sebagai teman. Aah... banyak sekali sifat baik beliau yang
saya kagumi. Namun ada satu hobi beliau yang membuat saya selalu terkenang pada
sosoknya.
Beliau
suka belanja di pasar tradisional. Bukan hanya sekedar belanja tapi beliau
punya kebiasaan unik, setiap kali akan menawar barang selalu meminta ijin
terlebih dahulu. Jika sang penjual tidak berkenan ditawar, maka beliau akan
membayar utuh harga yang diberikan,
Pertama
kali saya melihat ini, gondok
setengah mati. Kenapa susah-susah belanja ke pasar tradisional kalau tidak bisa
mendapat harga murah. Lebih baik ke supermarket saja. Apabila tak bisa belanja
sendiri dan menyuruh saya atau asisten rumah tangga, selalu wanti-wanti agar kami ijin terlebih
dahulu untuk menawar barang yang akan dibeli.
Ketika
mendapat perintah ini pertama kali ada yang bertentangan dihati. Saya beranikan
diri untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama bersemayam. Setelah memberikan
daftar belanjaan, sampailah ke pesan wasiat terakhir.
“Ntar
klo belanja jangan ditawar ya, Gik.” beliau meletakkan uang di meja saya.
“Lah,
Bu. Ntar kalau kemahalan kan sayang Bu.”
“Ya
biarin aja. Buat nambah-nambah tabungan mereka kan lumayan.” beliau tersenyum
sambil merapikan baju.
“Bu.
Yang namanya belanja ke pasar, tuh seninya ya di tawar menawar itu.”
“Kamu
ini, kok seneng bikin orang was-was saja.”
“Was-was
gimana, Bu?” saya menunggu-nunggu jawaban beliau.
“Kamu
tahu apa yang ada dibenak mereka kalau ada orang yang menawar barangnya? Mereka
selalu berdoa ‘jangan turun lagi, jangan murah-murah’ Itu berlangsung terus
menerus. Nggak kasihan kamu, mereka sampai was-was begitu.”
“Aah,
Ibu nih ada-ada aja. Kalau nggak boleh ditawar. Ya… mending beli di supermarket
aja.” saya tertawa tertahan
“Oalah cah ayu… kamu ini kok tega banget to. Nolong orang kok gak mau sih.”
“Maksudnya,
Bu?” berbagai pertanyaan berkecamuk dibenak saya.
“Para
pedagang di pasar-pasar itu tidak punya modal besar. Ada juga yang cuma cukup
buat makan sehari-hari, tak punya tabungan. Kalau semakin sedikit yang beli, mereka
dapat duitnya darimana? Mereka mau makan apa? Udah yang beli sedikit eh
ditawar-tawar dengan harga yang rendah banget. Coba kamu pikir, gimana mereka
bisa hidup lebih baik.” beliau menatap saya tajam
“Tapi
kan nggak semua kayak gitu, Bu. Banyak yang hidupnya berkecukupan. Sangat
berkecukupan malah.”
“Berapa
banyak? Sudahlah. Jangan pernah mikir rugi kalau nggak nawar. Niatkan saja
untuk menolong. Titik! Aku gak mau dibantah soal ini. Kamu jangan pernah punya
niat melanggar perintah saya soal ini!. Bisa saya pecat kamu!”
Glek.
Baru kali ini saya melihat beliau bicara keras. Tentu ini sesuatu yang penting
hingga beliau bersikap tegas seperti itu.
“Niatkan
saja untuk menolong. Titik!” Kata-kata beliau masih tergiang di telinga. Saya
mencerna kalimat ini selama perjalanan ke Pasar. Tetap saja, saya tidak
menemukan esensi dari kalimat tersebut. Ya sudahlah. Sudah sampai di pasar. Saya
menuju ke lapak langganan. Saya tunaikan pesan Ibu bos. Kebetulan sawi putih di
langganan tidak ada. Terpaksa saya harus putar-putar untuk mencari di lapak
lainnya.
Ada
beberapa lapak yang menjual sawi putih namun saya tak berminat membelinya. Oh
lala… akhirnya ketemu juga sawi putih yang besar dan terlihat segar. Seorang
Ibu tua menyapa saya dengan ramah. Naluri menawar sudah tak tertahankan lagi.
“Ndhak bisa, jeng, kalau segitu. Belum balik modal.” perempuan tua itu menjawab
pertanyaan saya dengan wajah memelas. Saya tetap saja menawar tanpa melihat ke
arahnya. Ah, wajah melas itu pasti hanya akting belaka supaya saya jatuh iba. Tawar-menawar
berjalan sangat alot. Gigih juga nenek ini. Akhirnya, saya mengalah. Ya sudahlah.
Capek juga ternyata tawar-menawar. Saya letakkan lembaran uang di dekat
timbangan, sementara beliau mebungkus sawi putih.
“Akhirnya… pembeli pertama. Penglaris, yu.” spontan, saya menoleh ke
kiri. Seorang ibu setengah baya penjual bumbu-bumbu dapur melongok dengan wajah
ceria.
“Alhamdulillah… laris… laris… yang beli dara
manis.” Perempuan tua itu menepuk-nepukkan uang saya ke beberapa bagian
dagangannya. Saya tersenyum geli demi melihatnya.
“Semoga
laris. Habis semua hari ini ya, Bu.” Saya berbasa-basi demi sopan santun.
“Aamiin. Sepi hari ini.
Baru jeng ini, yang pertama beli dagangan saya.” Duh. Mencelos hati ini.
Sungguh menyesal tadi saya sudah menawar dengan harga begitu rendah. Saya tolak
kembalian dari nenek tersebut. Segera saya berlalu dari sana. Rasa bersalah ini
masih tetap saja bergayut. Saya teringat pesan Ibu bos. Ya… ya… belanja
diniatkan untuk membantu saja, bukan untuk sekedar membeli barang yang kita
butuhkan. Saya menyimpan baik-baik peristiwa hari ini. Semoga saya selalu
diingatkan jika lupa nanti.
Komentar
Posting Komentar