Gudeg gendongan bertranformasi menjadi gudeg lesehan
Ada banyak pilihan gudeg di berbagai restoran dan warung makan kalau ke Yogyakarta. Namun saya lebih suka dengan gudeg gendongan atau gudeg lesehan. Penjual gudeg gendongan kebanyakan mbah-mbah. Selain harganya lebih murah, rasanya juga lebih legit. Gudeg dan kawan-kawan diletakkan di rinjing bambu yang digendong di punggung. Sedangkan nasi putih hangat dan wadah daun pisang dibawa di tangan kanan dan kiri. Meski 'namanya' digendong namun penjual gudeg tidak menjajakan berkeliling. Biasanya mangkal di emperan atau pinggir jalan dan dagangan digelar di lantai. Pembeli makan secara lesehan.
Pada tahun 90-an sampai awal 2000-an masih banyak penjual gudeg gendongan. Namun sekarang, sedikit sekali. Para penjual gudeg gendongan sudah bertranformasi menjadi gudeg lesehan. Penampakannya sudah seperti warung dengan aneka wadah besar tempat gudeg dan kawan-kawan. Namun tetap berjualan di emperan atau pinggir-pinggir jalan. Tak perlu lagi berburu gudeg pagi-pagi karena banyak stok gudeg yang dijual.
Pada tahun 90-an sampai awal 2000-an masih banyak penjual gudeg gendongan. Namun sekarang, sedikit sekali. Para penjual gudeg gendongan sudah bertranformasi menjadi gudeg lesehan. Penampakannya sudah seperti warung dengan aneka wadah besar tempat gudeg dan kawan-kawan. Namun tetap berjualan di emperan atau pinggir-pinggir jalan. Tak perlu lagi berburu gudeg pagi-pagi karena banyak stok gudeg yang dijual.
Dulu, jaman masih sering menginap di jalan Dagen atau Sosrowijayan. Banyak Mbah-mbah menggelar gudeg lesehan di sepanjang jalan. Ada yang di depan rumah atau toko yang masih tutup. Bangun tidur, keluar hotel, di depan atau seberang hotel tinggal deprok makan gudeg sampai kenyang. Sekarang, kalau kangen gudeg gendongan saya memilih berburu di sana.
Foto: pinjam pakai dari https://www.facebook.com/de.munk.1?fref=ts
Foto: pinjam pakai dari https://www.facebook.com/de.munk.1?fref=ts
Komentar
Posting Komentar