Minggu lalu, saya diajak suami ke Trenggalek. Kami menuju daerah pucuk gunung yang susah signal operator seluler. Begitu sampai tujuan, kami langsung disuguhi nasi tiwul. Duh, rasanya seneng pake banget yang banyak. Sudah lama sekali saya nggak makan nasi tiwul. Saya makan terakhir kali saat dibuatkan almarhum Mbah. Bertahun-tahun yang lalu.
Saat lebaran kala itu. Ibu dan kakak-kakaknya sedang nostalgia tentang masa kecil. Salah satu materi bahasan beliau yang seru adalah nasi tiwul. Saya yang belum pernah makan tentu penasaran. Akhirnya Mbah sengaja bikin buat saya dan cucu-cucu yang lain. Nasi tiwul lengkap dengan sayur lodeh tewel plus tahu tempe dibumbu lodho pedas. Gimana rasanya? Enak tak terlupakan.
Kalau Nasi Tiwul yang disuguhkan kali ini agak berbeda. Tuan rumah sengaja menambah sedikit beras untuk campuran tiwul. Menurut Beliau, kalau nggak biasa makan nasi tiwul perut bisa begah. Biasanya hal ini terjadi para pemilik perut yang agak sensitif atau punya sakit maag. Kalau yang perutnya kategori bandel ya aman-aman saja. Nasi tiwul kali ini disuguhkan dengan ikan laut panggang bumbu pedas dan ayam suwir bumbu kecap. Ternyata tiwul kalau dicampur dengan nasi putih rasanya lebih enak. Lebih berat dan lebih mengenyangkan.
Sebenarnya apa sih nasi tiwul ini? Baiklah saya ceritakan dari tiwulnya dulu, ya. Bahan dasar tiwul sebenarnya dari ketela pohon atau singkong. Setelah disuci dan dipotong balok besar lalu dijemur. Kalau sudah kering namanya berubah menjadi gaplek. Nantinya, gaplek ini bisa jadi bahan baku gatot dan tiwul. Saya langsung cerita proses pembuatan tiwulnya saja, ya. Gaplek kering ditumbuk halus menjadi tepung gaplek. Dari tepung gaplek ini dicampur air jadilah tiwul.
Kalau sudah jadi tiwul bisa dibuat menjadi dua macam hidangan. Nasi tiwul dan tiwul jajan pasar. Mungkin sudah banyak yang tahu kalau tiwul sebagai jajan pasar. Tiwul sebelum dikukus akan dicampur dengan gula merah terlebih dahulu. Setelah matang ditaburi kelapa muda parut.
Kalau bikin nasi tiwul lebih mudah. Tiwul langsung saja dikukus. Bisa tiwul saja atau dicampur dengan sedikit beras yang sudah direndam terlebih dahulu. Nanti beras teksturnya akan seperti lontong dan mengumpal bersama tiwul. Saat ini sudah tersedia juga nasi tiwul instan di Supermarket atau pasar. Saya pernah coba yang instan, namun rasanya sepoh atau hampar. Lebih enak tiwul biasa. Meski tak dibumbuin terasa sedikit gurih.
Pada jaman penjajahan Jepang, beras adalah bahan mewah yang sangat langka. Banyak masyarakat menengah kebawah di desa Ibu saya, yang makan bulgur. Konon katanya, bulgur ini makanannya babi. Nenek saya nggak tega kasih makan anak-anaknya dengan bulgur. Beliau selalu menyajikan gaplek atau tiwul sebagai pengganti nasi.
Nasi tiwul ini kondang di daerah Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Trenggalek, Tulungagung dan sebagian daerah Blitar. Kota-kota tersebut termasuk wilayah pengunungan kering yang hanya mengandalkan air hujan sebagai pengairan sawahnya. Meski Jepang sudah angkat kaki dari Indonesia namun masih banyak penduduk di kota-kota tersebut yang makan tiwul sebagai pengganti nasi. Kalau sekarang, sepertinya sudah tidak ada. Mungkin hanya sesekali disajikan nasi tiwul atas nama nostalgia. Seperti tuan rumah yang kita datangi kali ini.
Kalau dari penelusuran saya, kandungan dalam tiwul adalah air, fosfor, karbohidrat, kalsium, vitamin C, protein, zat besi, lemak dan vitamin B1. Tiwul juga mengandung kalori namun lebih rendah dari nasi. Pantesan, meski makan tiwul puluhan tahun tanpa makan beras sama sekali, badan masih tetap sehat. Masih kuat mencangkul di Sawah seharian. Masya Allah. Tiwul ini salah satu anugerah Allah untuk penduduk Indonesia disaat penuh keterbatasan.
Komentar
Posting Komentar