Selama musim liburan akhir tahun memang rencana di rumah saja. Males mau kemana-mana. Males terjebak macet. Sudah jadi rahasia umum kalau musim liburan macet menggila dimana-mana. Qodarullah saya dan suami harus ke Banjarnegara di awal Januari. Ternyata kita menginap di Jogjakarta. Ya sudahlah. Sekalian jalan-jalan. Liburan singkat.
Untunglah ketemu satu warung yang buka. Namun hanya ada tongseng, gule dan sate. Tidak ada tengkleng. Tongseng Pak Wakijan. Tempatnya persis di seberang Kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) unit Pakem. Warungnya sederhana. Merupakan bagian depan rumah. Warung ini sudah berjualan tongseng selama 30 tahun.
Warung Pak Wakijan buka setiap hari setelah Dhuhur sampai jam 22.00 WIB. Kebetulan, kami pelanggan pertama. Setelah kami pesan, Pak Wakijan langsung menyalakan anglo arang. Wah, sip nih. Para penjual tongseng sudah jarang yang menggunakan anglo arang. Banyak yang menggunakan kompor gas biasa. Padahal justru arang ini yang bikin cita rasa masakan lebih nikmat.
Tempatnya sederhana. Ada dua meja memanjang. Lantainya dari tanah. Namun ini yang ngangenin. Seperti makan di rumah desa. Seandainya lokasi warung ini di pinggir sawah, mantap deh. Apalagi masaknya pakai anglo. Cocok.
Warung ini dulu milik Ayahnya Bu Wakijan. Setelah Sang Ayah meninggal, Bu Wakijan yang meneruskan. Sementara itu Pak Wakijan bekerja sebagai sopir. Ketika Pak Wakijan berhenti menjadi sopir dan memilih untuk berjualan tongseng hingga sekarang.
Daging kambing disajikan secara langsung. Bagian depan warung ada etalase kaca yang menggantung daging kambing mentah. Daging akan dipotong langsung lalu dimasak dengan bumbu di wajan. Kalau sudah empuk dan bumbu merasuk, baru dituangkan kuah gule.
Tongseng di sini ada dua pilihan, gurih dan manis. Saya pilih yang manis. Penasaran ingin tahu rasanya tongseng manis. Ternyata ada tambahan gula merah yang dimasukkan ke wajan beberapa saat sebelum tongseng diangkat. Bagaimana rasanya? ya manis. Saya sampai pakai nasi banyak untuk menetralisir rasa manis.
Rasa manis sebenarnya hanya terasa di kuah. Kalau makan dagingnya saja tidak akan terasa manis. Kalau makan tanpa kuah tak akan terasa manis. Meski terasa manis namun rempah pada bumbu masih terasa meski samar. Ketutup dengan rasa manis. Lain kali saya akan pilih yang gurih saja.
Secara keseluruhan tongseng ini enak. Kalau yang rasa gurih, bumbu rempahnya sangat terasa. Masakan di warung ini tidak menggunakan MSG dan vitsin. Hanya menggunakan garam dan gula sebagai perasa. Ini nih yang saya suka. Aman buat saya yang alergi vitsin.
Kalau harganya masih standart. Tongseng tanpa nasi Rp 25.000/porsi. Kalau tongseng pakai nasi Rp 27.000/porsi.
Kami berencana akan menginap di tengah kota Jogjakarta dan menyewa sepeda motor. Ada beberapa urusan yang kebetulan lokasinya di tengah kota. Ternyata rencana berubah. Kami hanya bisa menginap di Jogja selama satu hari. Ya sudahlah. Akhirnya kami menginap di Kaliurang saja.
Kaliurang ini banyak tempat makan di sepanjang jalan. Terutama di daerah Kaliurang Bawah. Sekali-kali coba makanan di daerah Kaliurang Atas. Kami pun mulai menyusuri daerah Pakem. Kami memang lagi kangen sama tengkleng dan tongseng. Suami ingin coba ke warung tengkleng Pak Kribo di depan Pasar Pakem.
Ternyata warung tengkleng Pak Kribo hanya buka malam hari. Padahal kami harus pulang ke Surabaya setelah magrib. Wah kecewa banget. Ya sudahlah cari tempat lain. Eh ternyata tempat makan tengkleng dan tongseng di daerah Pakem buka malam hari.
Untunglah ketemu satu warung yang buka. Namun hanya ada tongseng, gule dan sate. Tidak ada tengkleng. Tongseng Pak Wakijan. Tempatnya persis di seberang Kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) unit Pakem. Warungnya sederhana. Merupakan bagian depan rumah. Warung ini sudah berjualan tongseng selama 30 tahun.
Warung Pak Wakijan buka setiap hari setelah Dhuhur sampai jam 22.00 WIB. Kebetulan, kami pelanggan pertama. Setelah kami pesan, Pak Wakijan langsung menyalakan anglo arang. Wah, sip nih. Para penjual tongseng sudah jarang yang menggunakan anglo arang. Banyak yang menggunakan kompor gas biasa. Padahal justru arang ini yang bikin cita rasa masakan lebih nikmat.
Tempatnya sederhana. Ada dua meja memanjang. Lantainya dari tanah. Namun ini yang ngangenin. Seperti makan di rumah desa. Seandainya lokasi warung ini di pinggir sawah, mantap deh. Apalagi masaknya pakai anglo. Cocok.
Warung ini dulu milik Ayahnya Bu Wakijan. Setelah Sang Ayah meninggal, Bu Wakijan yang meneruskan. Sementara itu Pak Wakijan bekerja sebagai sopir. Ketika Pak Wakijan berhenti menjadi sopir dan memilih untuk berjualan tongseng hingga sekarang.
Daging kambing disajikan secara langsung. Bagian depan warung ada etalase kaca yang menggantung daging kambing mentah. Daging akan dipotong langsung lalu dimasak dengan bumbu di wajan. Kalau sudah empuk dan bumbu merasuk, baru dituangkan kuah gule.
Tongseng di sini ada dua pilihan, gurih dan manis. Saya pilih yang manis. Penasaran ingin tahu rasanya tongseng manis. Ternyata ada tambahan gula merah yang dimasukkan ke wajan beberapa saat sebelum tongseng diangkat. Bagaimana rasanya? ya manis. Saya sampai pakai nasi banyak untuk menetralisir rasa manis.
Rasa manis sebenarnya hanya terasa di kuah. Kalau makan dagingnya saja tidak akan terasa manis. Kalau makan tanpa kuah tak akan terasa manis. Meski terasa manis namun rempah pada bumbu masih terasa meski samar. Ketutup dengan rasa manis. Lain kali saya akan pilih yang gurih saja.
Secara keseluruhan tongseng ini enak. Kalau yang rasa gurih, bumbu rempahnya sangat terasa. Masakan di warung ini tidak menggunakan MSG dan vitsin. Hanya menggunakan garam dan gula sebagai perasa. Ini nih yang saya suka. Aman buat saya yang alergi vitsin.
Kalau harganya masih standart. Tongseng tanpa nasi Rp 25.000/porsi. Kalau tongseng pakai nasi Rp 27.000/porsi.
baca postingan ini pas bangun tidur siang, auto ngiler deh, hehe
BalasHapusLangsung makan Mbak hehe
HapusKalao di google map bisa langsung diarahin ga ya, ke lokasi ini? Pengen banget nyoba tongsengnya
BalasHapusBelum pernah coba kalau pakai google map nih Kak.
Hapus